BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Persaoalan pendidikan merupakan
masalah manusia yang berhubungan dengan kehidupan. Selama manusia ada, maka
selama itupula persoalan pendidikaan ditela’ah dan direnkronduksi dari waktu ke
waktu. Sebagai makhluk yang paling sempurna antara makhluk-makhluk yang laen,
manusia dituntut untuk mengunakan akalnya dalam memikirkan segala sesuatu baek
yang berkaitan dengan agama, habblum minalnas maupun habblum minallah. Adapun
cara untuk menlatih berpikir adalah dengan pengetahuan ( ilmu ), dan ilmu itu
wajib dipelajari oleh setiap muslim, terutama ilmu yang berkaitan dengan agama.
Az
zarnuji adalah salah satu tokoh pendidikan islam dalam karyanya yang terkenal “Ta’lim
al-Muta’llim Tariq al-Ta’allum”proses
pendidikan islam Az zarnuji dirangkum dalam buku tersebut kedalam 13 pasal yang
singkat- singkat. Sebuah analisa yang diajukan Abdul muidh khan dalam bukunya “
The Muslim theories of education during the middle ades” menyimpukan bahwa
inti kitab ini mencakup 3 hal yaitu : The difesion of knowledge, the purpose
of learning, and the methode of study.
Az
zarnuji telah memberikan solusi tentang bagaimana menciptakan pendidikan yang
tidak hanya berorientasi pada keduniawan
saja, tetapi berorentasi kepada akhiratan. Sebagai mana tujuan sentral
pendidikan menurut Az zarnuji adalah mencari ridha Allah SWT. Serta kebahagian
di akhirat.
B.
Rumusan Masalah
Adapun
masalah yang dapat kita rumuskan sebagai berikut :
1.
Bagaimana
tentang biografi Az zarnuji ?
2.
Bagaimana
konsep pendidikan menurut Az zarnuji ?
3.
Apa
tujuan pendidikan menurut Az zarnuji ?
4.
Apa
tujuan memperoleh ilmu Az zarnuji ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup Az-Zarnuzi
Pengarang
kitab Ta’lim al-Muta’llim Tariq al-Ta’allum ialah Az zarnuji,
yang nama lengkapnya adalah Syekh Tajuddin Nu’man bin Ibrahim bin
al-Khalil Zarnuji. Dalam Kamus Islam terdapat dua sebutan yang ditujukan
kepadanya, yakni Az zarnuji ialah Burhanuddin Az zarnuji, yang hidup pada abad ke-6 H/ 13-14 M
dan Tajuddin Az zarnuji, ia adalah Nu’man bin Ibrahim yang wafat pada tahun
645H. Az zarnuji adalah seorang sastrawan dari Bukhara, dan termasuk ulama yang hidup pada abad ke-7 H, atau
sekitar abad ke-13-14 M, ia dapat dikenal pada tahun 593 H dengan kitab Ta’lim
al-Muta’lim. Kitab ini telah diberi syarah (komentar) oleh
Al-‘Allamah al-Jalil al-Syekh Ibrahim bin Ismail, dengan nama, al-Syarh
Ta’lim al-Muta’llim Tariq al-Ta’allum dan oleh Syekh Yahya bin Ali bin
Nashuh (1007 H/ 1598M) ahli syair Turki dan Imam Abdul Wahab al-Sya’rani ahli
tasauf dan al-Qadli Zakaria al-Anshari.
Az zarnuji
tinggal di Zarnuq atau Zarnuj, seperti kata itulah yang dibangsakan kepadanya.
Seperti disebutkan dalam Qamus Islami, bahwa Zarnuq atau Zarnuji adalah
nama negeri yang masyhur yang terletak di kawasan sungai Tigris (mawara’a
al-nahr) yakni Turtkistan Timur.
Dalam
kitabnya seacra implisit, Az zarnuji tidak menentukan di mana dia tinggal,
namun secara umun ia hidup pada akhir periode Abbasiyah, sebab khafilah
Abbasiyah terakhir ialah al-Mu’tashim (wafat tahun 1258 M/656 H). Ada
kemungkinan pula ia tinggal di kawasan Irak-Iran sebab beliau juga mengetahui
syair Persi di samping banyaknya contoh-contoh peristiwa pada masa Abbasiyah
yang beliau tuturkan dalam kitabnya.
Adapun mengenai kewafatannya, setidaknya ada dua pendapat yang dapat
dikemukakan disini. Pertama : Pendapat yang mengatakan bahwa Burhanuddin Az zarnizi
wafat pada tahun 591 H./ 1195 M. sedangkan pendapat yang kedua mengatakan bahwa
ia wafat pada tahun 840 H./1243 M. Sementara itu adapula yang mengatakan bahwa
burhanuddin Az zarnuji hidup semasa dengan ridhlo ad-Din an-Naisaburi yang
hidup antara tahun 500-600 H.
B.
Konsep Pendidikan Menurut
Az Zarnuji
Konsep
pembelajaran yang di kemukakan oleh Az-Zarnuji secara monumental di tuangkan
dalam karyanya yaitu: “Ta’lim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum” kitab
ini banyak dikuasai sebagai suatu karya yang jenial dan menumental serta sangat
di perhitungkan keberadaannya. Tentunya kitab ini tidak asing lagi
bagi dunia pendidikan Islam di Indonesia, khususnya di pondok pesantren
Salafiyah, karena kitab ini telah dijadikan referensi utama bagi santri dalam
menuntut ilmu. Menurut Mahmud Yunus bahwa dalam kitab itu disimpulkan pendapat
para ahli pendidikan Islam dan dikuatkan secara khusus pendapat Imam al-Ghazali.
Kitab ini khusus dalam ilmu pendidikan dan berpengaruh sekali dalam alam Islami
sebagai pegangan bagi guru untuk mendidik anak-anak. Kitab
ini banyak pula dijadikan bahan rujukan, terutama dari bidang pendidikan.
Keistimewaan lainnya dari kitab “Ta’lim al-Muta’allim Thuruq
al-Ta’allum”tersebut terletak pada materi yang terkandung. Sekalipun kecil
dan dengan judul yang seakan-akan hanya membicarakan tentang metode belajar,
namun selain itu juga membahas tentang tujuan belajar, prinsip belajar,
strategi belajar dan lain sebagainya yang secara keseluruannya didasarkan pada
moral religious. Di Indonesia, kitab “Ta’lim al-Muta’allim”dikaji
dan di pelajari hampir di setiap lembaga pendididkan Islam, terutama di lembaga
pendidikan klasik tradisional seperti Pesantren. Dari kitab tersebut dapat di ketahui tentang konsep
pembelajaran dan pendidikan Islam yang dikemukakan Az-Zarnuji. Secara umum
kitab ini mencakup 13 pasal,
1.
Pengertian Ilmu
2.
Niat di kala belajar
3.
Memilih ilmu, guru dan
teman serta ketabahan dalam belajar
4.
Menghormati ilmu dan
‘ulama’
5.
Ketekuanan dan cita-cita
luhur
6.
Permulaan dan itensitas
belajar serta tata tertibnya
7.
Tawakkal kepada Allah
8.
Masa belajar
9.
Kasih sayang dan memberi
nasehat
10.
Mengambil hikmah pelajaran
11.
Menjaga diri dari yang
haram dan yan subhat pada masa belajar
12.
Penyebab hafal dan lupa
13. Masalah rizki dan umur.
Menurut
Az-Zarnuji, belajar bernilai ibadah dan mengantarkan seseorang untuk memperoleh
kebahagiaan duniawi dan ukhrawi, karena itu belajar haruslah di niati untuk
mencari ridlo Allah, kebahagiaan akhirat, mengembangkan dan melestarikan Islam,
mensyukuri nikmat akal dan menghilangkan kebodohan.
Dimensi ini yang di maksud adalah sejalan dengan konsep pemikiran para ahli
pendidik, yakni menekankan bahwa proses belajar dan pembelajaran hendaknya
mampu menghasilkan ilmu yang berupa kemampuan pada tiga rana yang menjadi
tujuan pembelajaran, baik rana Koknitif, Afektif maupun psikomotorik.
Adapun dimensi ukhrawi Az-Zarnuji menekankan agar belajar adalah proses
untuk mendapatkan ilmu, hendaknya diniati untuk beribadah, Artinya : belajar
adalah sebagai perwujudan rasa syukur manusia sebagai hamba kepada Allah SWT
yang telah mengaruniakan Akal, selebih nya hasil proses belajar dan
pembelajaran yang berupa ilmu (kemampuan dalam tiga rana tersebut) hendak nya
dapat di amalkan dan di manfaatkan sebaik mungkin untuk kemaslahatan diri dan
manusia. Buah ilmu adalah amal, Pengamalan serta kemamfaatan ilmu hendaknya
dalam keridhoan Allah Sehingga bisa menghilangkan kebodohan. Inilah buah dari ilmu
yang menurut Az-Zarnuji akan dapat menghantarkan kebahagiaan hidup di dunia
maupun di akhirat.
Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Syekh Az-Zarnuji di dalam
kitabnya ta’limul muta’allim thoriqat-ta’allum. Cita-cita yang
tinggi pula yang akan mampu menggugah semangat para remaja muslim untuk
menambah dan memperluas pengetahuannya dengan cara memperbanyak belajar.
Cita-cita yang tinggi tidak akan dapat dicapai tanpa adanya usaha yang giat,
gigih, dan sungguh karena di balik kesulitan itu terdapat kemudahan yang sedang
menunggu dan menjemputnya.
C.
Tujuan Pendidikan atau Tujuan
Memperoleh Ilmu
Menurut
al-Zarnuji dalam kitab beliau ta’limul muta’allim
thoriqat-ta’allum tujuan belajar/pendidikan Islam dapat di
uraikan sebagai beikut:
“Seseorang
yang menuntut ilmu harus bertujuan mengharap rida Allah, mencari kebahagiaan di
akhirat, menghilangkan kebodohan baik dari dirinya sendiri maupun dari orang
lain, menghidupkan agama, dan melestarikan Islam. Karena Islam itu dapat
lestari, kalau pemeluknya berilmu. Zuhud dan takwa tidak sah tanpa disertai
ilmu. Syekh Burhanuddin menukil perkataan ulama sebuah syair: “orang alim yang
durhaka bahayanya besar, tetapi orang bodoh yang tekun beribadah justru lebih
besar bahayanya dibandingkan orang alim tadi. Keduanya adalah penyebab fitnah
di kalangan umat, dan tidak layak dijadikan panutan. Selanjutnya al-Zarnuji
berkata”:
“Seseorang yang menuntut ilmu haruslah didasari atas mensyukuri nikmat akal
dan kesehatan badan. Dan dia tidak boleh bertujuan supaya dihormati manusia dan
tidak pula untuk mendapatkan harta dunia dan mendapatkan kehormatan di hadapan
pejabat dan yang lainnya. Sebagai akibat dari seseorang yang merasakan lezatnya
ilmu dan mengamalkannya, maka bagi para pembelajar akan berpaling halnya dari
sesuatu yang dimiliki oleh orang lain. Demikian pendapat al-Zarnuji,
seperti statemen berikut ini:
Barang siapa dapat merasakan lezat
ilmu dan nikmat mengamalkannya, maka dia tidak akan begitu tertarik dengan
harta yang dimiliki orang lain. Syekh Imam Hammad bin Ibrahim bin Ismail
Assyafar al-Anshari membacakan syair Abu Hanifah: Siapa yang menuntut ilmu
untuk akhirat, tentu ia akan memperoleh anugerah kebenaran/petunjuk. Dan
kerugian bagi orang yang mencari ilmu hanya karena mencari kedudukan di
masyarakat.
Jadi Tujuan pendidikan menurut al-Zarnuji sebenarnya tidak hanya untuk
akhirat (ideal), tetapi juga tujuan keduniaan (praktis), asalkan tujuan
keduniaan ini sebagai instrumen pendukung tujuan-tujuan keagamaan. Seperti
pendapat al-Zarnuji berikut ini:
“ Seseorang boleh memperoleh ilmu
dengan tujuan untuk memperoleh kedudukan, kalau kedudukan tersebut
digunakan untuk amar makruf nahi munkar, untuk melaksanakan kebenaran dan
untuk menegakkan agama Allah. Bukan mencari keuntungan untuk dirinya sendiri,
dan tidak pula karena memperturutkan nafsu. Seharusnyalah bagi pembelajar untuk
merenungkannya, supaya ilmu yang dia cari dengan susah payah tidak menjadi
sia-sia. Oleh karena itu, bagi pembelajar janganlah mencari ilmu untuk
memperoleh keuntungan dunia yang hina, sedikit dan tidak kekal. Seperti
kata sebuah syair: Dunia ini lebih sedikit dari yang sedikit, orang yang
terpesona padanya adalah orang yang paling hina. Dunia dan isinya adalah sihir
yang dapat menipu orang tuli dan buta. Mereka adalah orang-orang bingung yang
tak tentu arah, karena jauh dari petunjuk.
Kalau dilihat dari tujuan-tujuan pembelajar dalam konsep al-Zarnuji, maka
menghilangkan kebodohan dari diri pembelajar, mencerdaskan akal, mensyukuri
atas nikmat akal dan kesehatan badan, merupakan tujuan-tujuan yang bersifat
individual. Karena dengan tiga hal tersebut akan dapat mempengaruhi perubahan
tingkah laku, aktivitas dan akan dapat menikmati kehidupan dunia dan menuju
akhirat. Tujuan pembelajar mencari ilmu untuk menghilangkan kebodohan
dari anggota masyarakat (mencerdaskan masyarakat), menghidupkan nilai-nilai
agama, dan melestarikan Agama Islam adalah merupakan tujuan-tujuan sosial.
Karena dengan tiga tujuan tersebut berkaitan dengan kehidupan masyarakat
sebagai keseluruhan, dengan tingkah laku masyarakat pada umumnya. Dari
tujuan-tujuan sosial ini, al-Zarnuji melihat bahwa kesalehan dan kecerdasan itu
tidak hanya saleh dan cerdas untuk diri sendiri, tetapi juga harus mampu
mentransformasikannya ke dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan tujuan
professional, berhubungan dengan tujuan seseorang mencapai ilmu itu ialah
menguasai ilmu yang berimplikasi pada pencapaian kedudukan. Namun kedudukan
yang telah dicapai itu adalah dengan tujuan-tujuan kemaslahatan umat secara
keseluruhan. Memperoleh kedudukan di masyarakat tidak lain haruslah dengan
ilmu, dan menguasainya. Baik tujuan individual, sosial dan professional
haruslah atas dasar memperoleh keridaan Allah dan kebahagiaan akhirat.
Untuk itulah nampaknya al-Zarnuji menempatkan mencari rida Allah dan
kebahagiaan akhirat menjadi awal dari segala tujuan (nilai
sentral) bagi pembelajar. Jika tujuan memperoleh ilmu dibagi kepada empat yakni
(1) ilmu untuk ilmu (kegemaran dan hobi), (2) sebagai penghubung memperoleh
kesenangan materi, (3) sebagai penghubung memajukan kebudayaan dan peradaban
mausia, (4) mencari rida Allah dan kebagiaan akhirat, maka yang terakhir ini
sebagai tujuan sentral, sedangkan tujuan lainnya sebagai tujuan instrumental.
Tujuan pembelajar memperoleh ilmu yang dikemukakan oleh al-Zarnuji jika
dilihat dari aliran pendidikan Islam yang dikemukakan oleh Ridha, maka
al-Zarnuji termasuk dalam aliran Konservatif Religius. Ridha mengatakan,
disamping lahirnya teori pendidikan berdasar pada hakikat fitrah dalam
Alquran, juga orientasi keagamaan dan filsafat negara dalam menafsirkan realitas
dunia, fenomena dan eksistensi manusia melahirkan pemikiran pendidikan
Islam terutama menentukan (1) tujuan, (2) ruang lingkup dan (3) pembagian
ilmu. Maka berdasar tiga ini, Ridha membagi aliran utama pemikiran
pendidikan Islam menjadi tiga; al-muha>fiz (religius konservatif); al-diniy
al-‘aqlaniy (religius rasional) dan al-z\arai’iy (pragmatis
instrumental). Aliran konservatif religius, menafsirkan realitas jagad raya
berpangkal dari ajaran agama sehingga semua yang menyangkut tujuan belajar,
pembagian ilmu, etika guru dan murid dan komponen pendidikan lainnya harus
berpangkal dari ajaran agama. Tujuan keagamaan adalah sebagai tujuan belajar.
Aliran religius rasional, tidak jauh berbeda dengan aliran pertama dalam hal
kaitan antara pendidikan dan tujuan belajar adalah tujuan agama. Bedanya,
ketika aliran ini membicarakan persoalan pendidikan cenderung lebih rasional
dan filosufis. Mereka membangun prinsip-prinsip dasar pemikiran pendidikan dari
pemikiran tentang manusia, pengetahuan dan pendidikan. Aliran pragmatis
instrumental, memandang tujuan pendidikan lebih banyak sisi pragmatis dan lebih
berorientasi pada tataran aplikatif praktis. Ilmu diklasifikasikan berdasar
tujuan kegunaan dan fungsinya dalam hidup.
Menempatkan al-Zarnuji dalam aliran religius konservatif, karena ia
menafsirkan realitas jagad raya berpangkal dari ajaran agama sehingga semua
yang menyangkut tujuan belajar harus berpangkal dari ajaran agama. Tujuan
keagamaan adalah sebagai tujuan belajar. Bingkai agama harus menyinari seluruh
aktivitas pembelajar dalam memperoleh ilmu. Sehingga boleh saja
pembelajar bertujuan mencari kedudukan dalam memperoleh ilmu, tetapi kedudukan
itu harus difungsikan untuk tujuan-tujuan keagamaan yakni amar makruf nahi
munkar, menegakkan kebenaran, dan untuk menegakkan agama Allah. Implikasi dari
pemikiran ini sangat jauh. Pembelajar yang semata-mata mencari rida Allah dalam
menuntut ilmu baik dikontrol oleh aturan-aturan yang dibuat manusia ataupun
tidak, dia tetap dalam bingkai kebenaran. Berbeda dengan pembelajar yang
menuntut ilmu karena mencari materi, sewaktu materi tidak di dapat atau
berkurang maka dia akan patah semangat dan pasimis serta tidak menjalankan
tugasnya sebagaimana mestinya.
Sebagai implikasi dari pandangan al-Zarnuji mengenai tujuan pendidikan/memperoleh
ilmu tentu terdapat dampak positif edukatif sebagai kelebihan darinya dan juga
terdapat dampak negatif edukatif sebagai kekurangannya. Dampak edukatif
positifnya ialah rasa tanggung jawab yang sangat kuat telah menghujam pada
pemikiran pendidikannya, dan mengukuhkan rasa tanggung jawab moral itu.
Penghargaannya terhadap persoalan pendidikan Islam sangat tinggi, bahkan
menilainya sebagai wujud tanggang jawab keagamaan yang sangat luhur. Tugas
mengajar dan belajar tidak sekedar sebagai tugas-tugas profesi kerja dan
tugas-tugas kemanusiaan tetapi lebih jauh dari itu yakni sebagai tuntutan
kewajiban agama. Tanggung jawab keagamaan sebagai titik sentral dalam
pendidikan Islam, di samping tanggung jawab kemanusiaan baik dalam konstruksi
tataran konsep maupun tataran aplikasi pendidikan. Tuntutan insaniyah
(kemanusian) tidak sejalan dengan tuntutan ilahiyah (keagamaan), maka
yang harus didahulukan dan dimenangkan ialah tuntutan keagamaan. Dampak negatif
edukatifnya menjadikan al-ilm (ilmu) yang dalam Alquran dan Hadis
bersifat mutlak tanpa batas menjadi bersifat terbatas hanya pada ilmu-ilmu
keagamaan, dan kecenderungan pencapaian spritual yang lebih menonjol,
mendorong pemikiran pendidikan Islam ke arah pengabaian urusan dunia dengan
segala kemanfaatan dan amal usaha yang sebenarnya boleh dinikmati dan bisa
dikerjakan. Oleh karena pemikiran pendidikannya terpusat pada bingkai agama,
maka pengaturan kehidupan dunia akan diambil oleh orang-orang non Muslim. Hal
ini pula menunjukkan sekaligus ketidak berdayaan umat Muslim untuk melaksanakan
amar makruf dan nahi munkar dalam reformasi dan transformasi solial yang
bermoral.
Bagaimana menurut al-Zarnuji mengenai proses perkembangan pribadi manusia?
Secara eksplisit al-Zarnuji tidak menyebutkan, tetapi secara implisit dapat
memberi gambaran kepada pembaca bahwa al-Zarnuji lebih cenderung kepada aliran
konvergensi dengan penambahan nilai-nilai Islam. Berikut statemennya:
“Adapun cara memiluh ustadz, maka seseorang yang sedang menuntut ilmu
hendaklah mencari ustadz yang paling alim, yang paling wara’ (menjauhkan
diri dari dosa, maksiat, dan perkara yang syubhat), dan yang paling tua.
Sebagaimana setelah Abu Hanifah merenung dan berpikir, maka dia memilih ustadz
Hammad bin Abi Sulaiman, karena beliau mempunyai kriteria tersebut.
Selanjutnya Abu Hanifah berkata : Beliau adalah seorang ustadz yang berakhlak
mulia, penyantun dan penyabar. Aku bertahan menuntut ilmu ilmu kepadanya hingga
aku seperti sekarang ini.
Begitu pentingnya termasuk memilih ustadz ini, al-Zarnuji mengutip
perkataan orang bijak yaitu jika kamu pergi menuntut ilmu ke Bukhara, maka
jangan tergesa-gesa memilih pendidik, tapi menetaplah selama dua bulan hingga
kamu berpikir untuk memilih ustadz. Karena bila kamu langsung memilih kepada
orang yang alim, maka kadang-kadang cara mengajarnya kurang enak menurutmu,
kemudian kamu tinggalkan dan pindah kepada orang alim yang lain, maka belajarmu
tidak akan diberkati. Oleh karena itu, selama dua bulan itu kamu harus berpikir
dan bermusyawarah untuk memilih ustadz, supaya kamu tidak meninggalkannya dan
supaya betah bersamanya hingga ilmumu berkah dan bermanfaat.
Seorang pelajar tidak hanya bersungguh-sungguh memilih ustadz yang akan
memberi pengaruh kepadanya tetapi juga memilih teman yang tepat. Berikut
pernyataan al-Zarnuji:
“Pembelajar harus memilih berteman dengan orang yang tekun belajar, yang wara’,
yang mempunyai watak istiqamah dan suka berpikir. Dan menghindari
berteman dengan pemalas, atheis, banyak bicara, perusak dan tukang
fitnah. Seorang penyair berkata : “Janganlah bertanya tentang kelakuan
seseorang, tapi lihatlah siapa temannya. Karena seseorang biasanya mengikuti
temannya. Kalau temanmu berbudi buruk, maka menjauhlah segera. Dan bila berlaku
baik maka bertemanlah dengannya, tentu kamu akan mendapat petunjuk. Ada sebuah
syair berbunyi: “Janganlah sekali-kali bersahabat dengan seorang pemalas dalam
segala tingkah lakunya. Karena banyak orang yang menjadi rusak karena
kerusakan temannya. Karena sifat malas itu cepat menular.” Nabi Muhammad SAW
bersabda : Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua
orangtuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi beragama Yahudi, Nasrani atau
Majusi”.
Dari berbagai statemen al-Zarnuji tersebut menunjukkan bahwa sifat dasar
moral manusia itu bersifat good-interactive atau fitrah positif-aktif
dalam klasifikasi pemikiran pendidikan Islam yang digagas oleh
Ridha. Artinya, pada dasarnya manusia itu baik, aktif/interaktif dan
aksinya terhadap dunia luar bersifat proses kerjasama antara potensi hereditas
dan alam lingkungan pendidikan. Yakni seseorang dapat saja dipengaruhi oleh
alam lingkungannya secara penuh atau sebaliknya dunia luar dipengaruhinya
sehingga sesuai dengan keinginannya. Atau dirinya dan dunia luar melebur
menjadi tarik menarik secara terus menerus dan saling pengaruh serta proses
kerjasama.
Namun nampaknya al-Zarnuji lebih banyak menekankan kepada penataan
lingkungan soaial budaya, seperti memilih ustadz, memilih guru dan
memilih lingkungan tempat pembelajar menimba ilmu. Sekalipun demikian, belum
dapat dikatakan bahwa al-Zarnuji beraliran Empirisme, karena pada bab lain ia
juga membicarakan tentang tawakkal. Tawakkal tentu merupakan salah ciri
dari yang beraliran Nativisme. Sehingga lebih tepat kalau
al-Zarnuji dikelompokkan kepada Konvergensi Plus. Karena bagaimanapun
juga manusia tidak lepas dari bawaan hereditasnya dan pengaruh alam
lingkungannya atau proses kerjasama antaara keduanya (interaktif). Namun juga
perlu diingat bahwa dalam sisi kehidupan ini kadang-kadang disadari atau tidak
ada ‘inayatullah (pertolongan Tuhan). Seperti halnya kasus Kan’an
(anak Nabi Nuh) yang tetap ingkar sekalipun dibesarkan dan diasuh dalam
lingkungan kerasulan, isteri Fir’aun yang tetap wanita shalihah,
sekalipun suaminya seorang yang musyrik, istri Nabi Luth tetap durhaka kepada
suaminya sekalipun setiap harinya disinari oleh misi kerasulan dan lain-lain
yang dicontohkan dalam Alquran. Mungkin itulah yang dapat diistilahkan oleh
al-Zarnuji dengan istilah tawakkal.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Az zarnuji adalah salah satu tokoh
pendidikan islam dalam karyanya yang terkenal “Ta’lim
al-Muta’llim Tariq al-Ta’allum”proses
pendidikan islam Az zarnuji dirangkum dalam buku tersebut kedalam 13 pasal yang
singkat- singkat. Sebuah analisa yang diajukan Abdul muidh khan dalam bukunya “
The Muslim theories of education during the middle ades” menyimpukan bahwa
inti kitab ini mencakup 3 ( tiga) hal yaitu : The difesion of knowledge, the
purpose of learning, and the methode of study.
Menurut Az-Zarnuji, belajar bernilai ibadah dan mengantarkan seseorang
untuk memperoleh kebahagiaan duniawi dan ukhrawi, karena itu belajar haruslah
di niati untuk mencari ridlo Allah, kebahagiaan akhirat, mengembangkan dan
melestarikan Islam, mensyukuri nikmat akal dan menghilangkan kebodohan.
Menuntut
ilmu harus bertujuan mengharap rida Allah, mencari kebahagiaan di akhirat,
menghilangkan kebodohan baik dari dirinya sendiri maupun dari orang lain,
menghidupkan agama, dan melestarikan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al
Zarnuji.2005.Ta’lim Al Muta’lim Thuruq Al
Ta’allum, terjemah. Abu shofia dan Ibnu sanusi, Jakarta: Pustaka Amani
Nata,abuddin.2003.Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Syaibani
al,Omar Mohammad Al Taumy.1979.Falsafah
Pendidikan Islam,terjemah. Hasan Langgulung, Bandung: Bulan Bintang