Monday, October 10, 2016

Makalah Filsafat pendidikan islam “ az zarnuji”

0 comments


BAB I
PENDAHULUAN
A.                Latar Belakang Masalah
            Persaoalan pendidikan merupakan masalah manusia yang berhubungan dengan kehidupan. Selama manusia ada, maka selama itupula persoalan pendidikaan ditela’ah dan direnkronduksi dari waktu ke waktu. Sebagai makhluk yang paling sempurna antara makhluk-makhluk yang laen, manusia dituntut untuk mengunakan akalnya dalam memikirkan segala sesuatu baek yang berkaitan dengan agama, habblum minalnas maupun habblum minallah. Adapun cara untuk menlatih berpikir adalah dengan pengetahuan ( ilmu ), dan ilmu itu wajib dipelajari oleh setiap muslim, terutama ilmu yang berkaitan dengan agama.
            Az zarnuji adalah salah satu tokoh pendidikan islam dalam karyanya yang terkenal “Ta’lim al-Muta’llim Tariq al-Ta’allum”proses pendidikan islam Az zarnuji dirangkum dalam buku tersebut kedalam 13 pasal yang singkat- singkat. Sebuah analisa yang diajukan Abdul muidh khan dalam bukunya “ The Muslim theories of education during the middle ades” menyimpukan bahwa inti kitab ini mencakup 3 hal yaitu : The difesion of knowledge, the purpose of learning, and the methode of study.
            Az zarnuji telah memberikan solusi tentang bagaimana menciptakan pendidikan yang tidak hanya berorientasi  pada keduniawan saja, tetapi berorentasi kepada akhiratan. Sebagai mana tujuan sentral pendidikan menurut Az zarnuji adalah mencari ridha Allah SWT. Serta kebahagian di akhirat.
B.                 Rumusan Masalah
Adapun masalah yang dapat kita rumuskan sebagai berikut :
1.      Bagaimana tentang biografi Az zarnuji ?
2.      Bagaimana konsep pendidikan menurut Az zarnuji ?
3.      Apa tujuan pendidikan menurut Az zarnuji ?
4.      Apa tujuan memperoleh ilmu Az zarnuji ?

BAB II
PEMBAHASAN
A.                Riwayat Hidup Az-Zarnuzi
            Pengarang kitab Ta’lim al-Muta’llim Tariq al-Ta’allum ialah Az zarnuji,   yang nama lengkapnya adalah Syekh Tajuddin Nu’man bin Ibrahim bin al-Khalil Zarnuji. Dalam Kamus Islam terdapat dua sebutan yang ditujukan kepadanya, yakni Az zarnuji ialah Burhanuddin Az  zarnuji, yang hidup pada abad ke-6 H/ 13-14 M dan Tajuddin Az zarnuji, ia adalah Nu’man bin Ibrahim yang wafat pada tahun 645H. Az zarnuji adalah seorang sastrawan dari Bukhara, dan termasuk  ulama yang hidup pada abad ke-7 H, atau sekitar abad ke-13-14 M, ia dapat dikenal pada tahun 593 H dengan kitab Ta’lim al-Muta’lim. Kitab ini telah diberi syarah (komentar) oleh Al-‘Allamah al-Jalil al-Syekh Ibrahim bin Ismail, dengan nama, al-Syarh Ta’lim al-Muta’llim Tariq al-Ta’allum dan oleh Syekh Yahya bin Ali bin Nashuh (1007 H/ 1598M) ahli syair Turki dan Imam Abdul Wahab al-Sya’rani ahli tasauf dan al-Qadli Zakaria al-Anshari.
            Az zarnuji tinggal di Zarnuq atau Zarnuj, seperti kata itulah yang dibangsakan kepadanya. Seperti disebutkan dalam Qamus Islami, bahwa Zarnuq atau Zarnuji adalah nama negeri yang masyhur yang terletak di kawasan sungai Tigris (mawara’a al-nahr) yakni Turtkistan Timur.
            Dalam kitabnya seacra implisit, Az zarnuji tidak menentukan di mana dia tinggal, namun secara umun ia hidup pada akhir periode Abbasiyah, sebab khafilah Abbasiyah terakhir ialah al-Mu’tashim (wafat tahun 1258 M/656 H). Ada kemungkinan pula ia tinggal di kawasan Irak-Iran sebab beliau juga mengetahui syair Persi di samping banyaknya contoh-contoh peristiwa pada masa Abbasiyah yang beliau tuturkan dalam kitabnya.
            Adapun mengenai kewafatannya, setidaknya ada dua pendapat yang dapat dikemukakan disini. Pertama : Pendapat yang mengatakan bahwa Burhanuddin Az zarnizi wafat pada tahun 591 H./ 1195 M. sedangkan pendapat yang kedua mengatakan bahwa ia wafat pada tahun 840 H./1243 M. Sementara itu adapula yang mengatakan bahwa burhanuddin Az zarnuji hidup semasa dengan ridhlo ad-Din an-Naisaburi yang hidup antara tahun 500-600 H.

B.                 Konsep Pendidikan Menurut Az Zarnuji
            Konsep pembelajaran yang di kemukakan oleh Az-Zarnuji secara monumental di tuangkan dalam karyanya yaitu: “Ta’lim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum” kitab ini banyak dikuasai sebagai suatu karya yang jenial dan menumental serta sangat di perhitungkan keberadaannya. Tentunya kitab ini tidak asing lagi bagi dunia pendidikan Islam di Indonesia, khususnya di pondok pesantren Salafiyah, karena kitab ini telah dijadikan referensi utama bagi santri dalam menuntut ilmu. Menurut Mahmud Yunus bahwa dalam kitab itu disimpulkan pendapat para ahli pendidikan Islam dan dikuatkan secara khusus pendapat Imam al-Ghazali. Kitab ini khusus dalam ilmu pendidikan dan berpengaruh sekali dalam alam Islami sebagai pegangan bagi guru untuk mendidik anak-anak. Kitab ini banyak pula dijadikan bahan rujukan, terutama dari bidang pendidikan. Keistimewaan lainnya dari kitab “Ta’lim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum”tersebut terletak pada materi yang terkandung. Sekalipun kecil dan dengan judul yang seakan-akan hanya membicarakan tentang metode belajar, namun selain itu juga membahas tentang tujuan belajar, prinsip belajar, strategi belajar dan lain sebagainya yang secara keseluruannya didasarkan pada moral religious. Di Indonesia, kitab “Ta’lim al-Muta’allim”dikaji dan di pelajari hampir di setiap lembaga pendididkan Islam, terutama di lembaga pendidikan klasik tradisional seperti Pesantren. Dari kitab tersebut dapat di ketahui tentang konsep pembelajaran dan pendidikan Islam yang dikemukakan Az-Zarnuji. Secara umum kitab ini mencakup 13 pasal,
1.      Pengertian Ilmu
2.      Niat di kala belajar
3.      Memilih ilmu, guru dan teman serta ketabahan dalam belajar
4.      Menghormati ilmu dan ‘ulama’
5.      Ketekuanan dan cita-cita luhur
6.      Permulaan dan itensitas belajar serta tata tertibnya
7.      Tawakkal kepada Allah
8.      Masa belajar
9.      Kasih sayang dan memberi nasehat
10.  Mengambil hikmah pelajaran
11.  Menjaga diri dari yang haram dan yan subhat pada masa belajar
12.  Penyebab hafal dan lupa
13.  Masalah rizki dan umur.
            Menurut Az-Zarnuji, belajar bernilai ibadah dan mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan duniawi dan ukhrawi, karena itu belajar haruslah di niati untuk mencari ridlo Allah, kebahagiaan akhirat, mengembangkan dan melestarikan Islam, mensyukuri nikmat akal dan menghilangkan kebodohan.
            Dimensi ini yang di maksud adalah sejalan dengan konsep pemikiran para ahli pendidik, yakni menekankan bahwa proses belajar dan pembelajaran hendaknya mampu menghasilkan ilmu yang berupa kemampuan pada tiga rana yang menjadi tujuan pembelajaran, baik rana Koknitif, Afektif maupun psikomotorik.
            Adapun dimensi ukhrawi Az-Zarnuji menekankan agar belajar adalah proses untuk mendapatkan ilmu, hendaknya diniati untuk beribadah, Artinya : belajar adalah sebagai perwujudan rasa syukur manusia sebagai hamba kepada Allah SWT yang telah mengaruniakan Akal, selebih nya hasil proses belajar dan pembelajaran yang berupa ilmu (kemampuan dalam tiga rana tersebut) hendak nya dapat di amalkan dan di manfaatkan sebaik mungkin untuk kemaslahatan diri dan manusia. Buah ilmu adalah amal, Pengamalan serta kemamfaatan ilmu hendaknya dalam keridhoan Allah Sehingga bisa menghilangkan kebodohan. Inilah buah dari ilmu yang menurut Az-Zarnuji akan dapat menghantarkan kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat.
            Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Syekh Az-Zarnuji di dalam kitabnya ta’limul muta’allim thoriqat-ta’allum. Cita-cita yang tinggi pula yang akan mampu menggugah semangat para remaja muslim untuk menambah dan memperluas pengetahuannya dengan cara memperbanyak belajar. Cita-cita yang tinggi tidak akan dapat dicapai tanpa adanya usaha yang giat, gigih, dan sungguh karena di balik kesulitan itu terdapat kemudahan yang sedang menunggu dan menjemputnya.


C.                Tujuan Pendidikan atau Tujuan Memperoleh Ilmu
            Menurut al-Zarnuji dalam kitab beliau ta’limul muta’allim thoriqat-ta’allum tujuan belajar/pendidikan Islam  dapat di uraikan sebagai beikut:
            “Seseorang yang menuntut ilmu harus bertujuan mengharap rida Allah, mencari kebahagiaan di akhirat, menghilangkan kebodohan baik dari dirinya sendiri maupun dari orang lain, menghidupkan agama, dan melestarikan Islam. Karena Islam itu dapat lestari, kalau pemeluknya berilmu. Zuhud dan takwa tidak sah tanpa disertai ilmu. Syekh Burhanuddin menukil perkataan ulama sebuah syair: “orang alim yang durhaka bahayanya besar, tetapi orang bodoh yang tekun beribadah justru lebih besar bahayanya dibandingkan orang alim tadi. Keduanya adalah penyebab fitnah di kalangan umat, dan tidak layak dijadikan panutan. Selanjutnya al-Zarnuji berkata”:
“Seseorang yang menuntut ilmu haruslah didasari atas mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan. Dan dia tidak boleh bertujuan supaya dihormati manusia dan tidak pula untuk mendapatkan harta dunia dan mendapatkan kehormatan di hadapan pejabat dan yang lainnya. Sebagai akibat dari seseorang yang merasakan lezatnya ilmu dan mengamalkannya, maka bagi para pembelajar akan berpaling halnya dari sesuatu yang dimiliki  oleh orang lain. Demikian pendapat al-Zarnuji, seperti statemen berikut ini:
 Barang siapa dapat merasakan lezat ilmu dan nikmat mengamalkannya, maka dia tidak akan begitu tertarik dengan harta yang dimiliki orang lain. Syekh Imam Hammad bin Ibrahim bin Ismail Assyafar al-Anshari membacakan syair Abu Hanifah: Siapa yang menuntut ilmu untuk akhirat, tentu ia akan memperoleh anugerah kebenaran/petunjuk. Dan kerugian bagi orang yang mencari ilmu hanya karena mencari kedudukan di masyarakat.
Jadi Tujuan pendidikan menurut al-Zarnuji sebenarnya tidak hanya untuk akhirat (ideal), tetapi juga tujuan keduniaan (praktis), asalkan tujuan keduniaan ini sebagai instrumen pendukung tujuan-tujuan keagamaan. Seperti pendapat al-Zarnuji berikut ini:
 “ Seseorang boleh memperoleh ilmu dengan tujuan untuk memperoleh kedudukan, kalau kedudukan tersebut  digunakan untuk amar makruf nahi munkar, untuk melaksanakan kebenaran dan untuk menegakkan agama Allah. Bukan mencari keuntungan untuk dirinya sendiri, dan tidak pula karena memperturutkan nafsu. Seharusnyalah bagi pembelajar untuk merenungkannya, supaya ilmu yang dia cari dengan susah payah tidak menjadi sia-sia. Oleh karena itu, bagi pembelajar janganlah mencari ilmu untuk memperoleh keuntungan dunia yang hina, sedikit dan tidak kekal. Seperti kata sebuah syair: Dunia ini lebih sedikit dari yang sedikit, orang yang terpesona padanya adalah orang yang paling hina. Dunia dan isinya adalah sihir yang dapat menipu orang tuli dan buta. Mereka adalah orang-orang bingung yang tak tentu arah, karena jauh dari petunjuk.
Kalau dilihat dari tujuan-tujuan pembelajar dalam konsep al-Zarnuji, maka menghilangkan kebodohan dari diri pembelajar, mencerdaskan akal, mensyukuri atas nikmat akal dan kesehatan badan, merupakan tujuan-tujuan yang bersifat individual. Karena dengan tiga hal tersebut akan dapat mempengaruhi perubahan tingkah laku, aktivitas dan akan dapat menikmati kehidupan dunia dan menuju akhirat.  Tujuan pembelajar mencari ilmu untuk menghilangkan kebodohan dari anggota masyarakat (mencerdaskan masyarakat), menghidupkan nilai-nilai agama, dan melestarikan Agama Islam adalah merupakan tujuan-tujuan sosial. Karena dengan tiga tujuan tersebut berkaitan dengan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan, dengan tingkah laku masyarakat pada umumnya. Dari tujuan-tujuan sosial ini, al-Zarnuji melihat bahwa kesalehan dan kecerdasan itu tidak hanya saleh dan cerdas untuk diri sendiri, tetapi juga harus mampu mentransformasikannya ke dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan tujuan professional, berhubungan dengan tujuan seseorang mencapai ilmu itu ialah menguasai ilmu yang berimplikasi pada pencapaian kedudukan. Namun kedudukan yang telah dicapai itu adalah dengan tujuan-tujuan kemaslahatan umat secara keseluruhan. Memperoleh kedudukan di masyarakat tidak lain haruslah dengan ilmu, dan menguasainya. Baik tujuan individual, sosial dan professional haruslah atas dasar memperoleh keridaan Allah dan kebahagiaan akhirat.
Untuk itulah nampaknya al-Zarnuji menempatkan mencari rida Allah dan kebahagiaan akhirat menjadi awal dari segala  tujuan (nilai sentral) bagi pembelajar. Jika tujuan memperoleh ilmu dibagi kepada empat yakni (1) ilmu untuk ilmu (kegemaran dan hobi), (2) sebagai penghubung memperoleh kesenangan materi, (3) sebagai penghubung memajukan kebudayaan dan peradaban mausia, (4) mencari rida Allah dan kebagiaan akhirat, maka yang terakhir ini sebagai tujuan sentral, sedangkan tujuan lainnya sebagai tujuan instrumental.
Tujuan pembelajar memperoleh ilmu yang dikemukakan oleh al-Zarnuji jika dilihat dari aliran pendidikan Islam yang dikemukakan oleh Ridha, maka al-Zarnuji termasuk dalam aliran Konservatif Religius. Ridha mengatakan, disamping lahirnya teori pendidikan berdasar pada  hakikat fitrah dalam Alquran, juga orientasi keagamaan dan filsafat negara dalam menafsirkan realitas dunia, fenomena dan eksistensi manusia  melahirkan pemikiran pendidikan Islam terutama menentukan (1) tujuan, (2) ruang lingkup dan  (3) pembagian ilmu. Maka berdasar  tiga ini, Ridha membagi aliran utama pemikiran pendidikan Islam menjadi tiga; al-muha>fiz (religius konservatif); al-diniy al-‘aqlaniy (religius rasional) dan al-z\arai’iy (pragmatis instrumental). Aliran konservatif religius, menafsirkan realitas jagad raya berpangkal dari ajaran agama sehingga semua yang menyangkut tujuan belajar, pembagian ilmu, etika guru dan murid dan komponen pendidikan lainnya harus berpangkal dari ajaran agama. Tujuan keagamaan adalah sebagai tujuan belajar. Aliran religius rasional, tidak jauh berbeda dengan aliran pertama dalam hal kaitan antara pendidikan dan tujuan belajar adalah tujuan agama. Bedanya, ketika aliran ini membicarakan persoalan pendidikan cenderung lebih rasional dan filosufis. Mereka membangun prinsip-prinsip dasar pemikiran pendidikan dari pemikiran tentang manusia, pengetahuan dan pendidikan. Aliran pragmatis instrumental, memandang tujuan pendidikan lebih banyak sisi pragmatis dan lebih berorientasi pada tataran aplikatif praktis. Ilmu diklasifikasikan berdasar tujuan kegunaan dan fungsinya dalam hidup.
Menempatkan al-Zarnuji dalam aliran religius konservatif, karena ia menafsirkan realitas jagad raya berpangkal dari ajaran agama sehingga semua yang menyangkut tujuan belajar harus berpangkal dari ajaran agama. Tujuan keagamaan adalah sebagai tujuan belajar. Bingkai agama harus menyinari seluruh aktivitas pembelajar dalam memperoleh ilmu. Sehingga  boleh saja pembelajar bertujuan mencari kedudukan dalam memperoleh ilmu, tetapi kedudukan itu harus difungsikan untuk tujuan-tujuan keagamaan yakni amar makruf nahi munkar, menegakkan kebenaran, dan untuk menegakkan agama Allah. Implikasi dari pemikiran ini sangat jauh. Pembelajar yang semata-mata mencari rida Allah dalam menuntut ilmu baik dikontrol oleh aturan-aturan yang dibuat manusia ataupun tidak, dia tetap dalam bingkai kebenaran. Berbeda dengan pembelajar yang menuntut ilmu karena mencari materi, sewaktu materi tidak di dapat atau berkurang maka dia akan patah semangat dan pasimis serta tidak menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya.
Sebagai implikasi dari pandangan al-Zarnuji mengenai tujuan pendidikan/memperoleh ilmu tentu terdapat dampak positif edukatif sebagai kelebihan darinya dan juga terdapat dampak negatif edukatif sebagai kekurangannya. Dampak edukatif positifnya ialah rasa tanggung jawab yang sangat kuat telah menghujam pada pemikiran pendidikannya, dan mengukuhkan rasa tanggung jawab moral itu. Penghargaannya terhadap persoalan pendidikan Islam sangat tinggi, bahkan menilainya sebagai wujud tanggang jawab keagamaan yang sangat luhur. Tugas mengajar dan belajar tidak sekedar sebagai tugas-tugas profesi kerja dan tugas-tugas kemanusiaan tetapi lebih jauh dari itu yakni sebagai tuntutan kewajiban agama. Tanggung jawab keagamaan sebagai titik sentral  dalam pendidikan Islam, di samping tanggung jawab kemanusiaan baik dalam konstruksi tataran konsep maupun tataran aplikasi pendidikan. Tuntutan insaniyah (kemanusian) tidak sejalan dengan tuntutan ilahiyah (keagamaan), maka yang harus didahulukan dan dimenangkan ialah tuntutan keagamaan. Dampak negatif edukatifnya menjadikan al-ilm (ilmu) yang dalam Alquran dan Hadis bersifat mutlak tanpa batas menjadi bersifat terbatas hanya pada ilmu-ilmu keagamaan, dan kecenderungan pencapaian spritual  yang lebih menonjol, mendorong pemikiran pendidikan Islam ke arah pengabaian urusan dunia dengan segala kemanfaatan dan amal usaha yang sebenarnya boleh dinikmati dan bisa dikerjakan. Oleh karena pemikiran pendidikannya terpusat pada bingkai agama, maka pengaturan kehidupan dunia akan diambil oleh orang-orang non Muslim. Hal ini pula menunjukkan sekaligus ketidak berdayaan umat Muslim untuk melaksanakan amar makruf dan nahi munkar dalam reformasi dan transformasi solial yang bermoral.
Bagaimana menurut al-Zarnuji mengenai proses perkembangan pribadi manusia? Secara eksplisit al-Zarnuji tidak menyebutkan, tetapi secara implisit dapat memberi gambaran kepada pembaca bahwa al-Zarnuji lebih cenderung kepada aliran konvergensi dengan penambahan nilai-nilai Islam. Berikut statemennya:
“Adapun cara memiluh ustadz, maka seseorang yang sedang menuntut ilmu hendaklah mencari ustadz yang paling alim, yang paling wara’ (menjauhkan diri dari dosa, maksiat, dan perkara yang syubhat), dan yang paling tua. Sebagaimana setelah Abu Hanifah merenung dan berpikir, maka dia memilih ustadz Hammad bin Abi Sulaiman, karena beliau  mempunyai kriteria tersebut. Selanjutnya Abu Hanifah berkata : Beliau adalah seorang ustadz yang berakhlak mulia, penyantun dan penyabar. Aku bertahan menuntut ilmu ilmu kepadanya hingga aku seperti sekarang ini.
Begitu pentingnya termasuk memilih ustadz ini, al-Zarnuji mengutip perkataan orang bijak yaitu jika kamu pergi menuntut ilmu ke Bukhara, maka jangan tergesa-gesa memilih pendidik, tapi menetaplah selama dua bulan hingga kamu berpikir untuk memilih ustadz. Karena bila kamu langsung memilih kepada orang yang alim, maka kadang-kadang cara mengajarnya kurang enak menurutmu, kemudian kamu tinggalkan dan pindah kepada orang alim yang lain, maka belajarmu tidak akan diberkati. Oleh karena itu, selama dua bulan itu kamu harus berpikir dan bermusyawarah untuk memilih ustadz, supaya kamu tidak meninggalkannya dan supaya betah bersamanya hingga ilmumu berkah dan bermanfaat.
Seorang pelajar tidak hanya bersungguh-sungguh memilih ustadz yang akan memberi pengaruh kepadanya tetapi juga memilih teman yang tepat. Berikut pernyataan al-Zarnuji:
“Pembelajar harus memilih berteman dengan orang yang tekun belajar, yang wara’, yang mempunyai watak istiqamah dan suka berpikir. Dan menghindari berteman dengan pemalas, atheis, banyak bicara, perusak dan tukang fitnah. Seorang penyair berkata : “Janganlah bertanya tentang kelakuan seseorang, tapi lihatlah siapa temannya. Karena seseorang biasanya mengikuti temannya. Kalau temanmu berbudi buruk, maka menjauhlah segera. Dan bila berlaku baik maka bertemanlah dengannya, tentu kamu akan mendapat petunjuk. Ada sebuah syair berbunyi: “Janganlah sekali-kali bersahabat dengan seorang pemalas dalam segala tingkah lakunya. Karena banyak orang  yang menjadi rusak karena kerusakan temannya. Karena sifat malas itu cepat menular.” Nabi Muhammad SAW bersabda : Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orangtuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi”.
Dari berbagai statemen al-Zarnuji tersebut menunjukkan bahwa sifat dasar moral manusia itu bersifat good-interactive atau fitrah positif-aktif dalam  klasifikasi pemikiran pendidikan Islam yang digagas oleh Ridha. Artinya, pada dasarnya manusia itu baik, aktif/interaktif dan aksinya terhadap dunia luar bersifat proses kerjasama antara potensi hereditas dan alam lingkungan pendidikan. Yakni seseorang dapat saja dipengaruhi oleh alam lingkungannya secara penuh atau sebaliknya dunia luar dipengaruhinya sehingga sesuai dengan keinginannya. Atau dirinya dan dunia luar melebur menjadi tarik menarik secara terus menerus dan saling pengaruh serta proses kerjasama.
Namun nampaknya al-Zarnuji lebih banyak menekankan kepada penataan lingkungan soaial budaya, seperti memilih ustadz,  memilih guru dan memilih lingkungan tempat pembelajar menimba ilmu. Sekalipun demikian, belum dapat dikatakan bahwa al-Zarnuji beraliran Empirisme, karena pada bab lain ia juga membicarakan tentang tawakkal. Tawakkal tentu merupakan salah ciri dari yang beraliran Nativisme. Sehingga lebih tepat kalau al-Zarnuji dikelompokkan kepada Konvergensi Plus. Karena bagaimanapun juga manusia tidak lepas dari bawaan hereditasnya dan pengaruh alam lingkungannya atau proses kerjasama antaara keduanya (interaktif). Namun juga perlu diingat bahwa dalam sisi kehidupan ini kadang-kadang disadari atau tidak ada ‘inayatullah (pertolongan Tuhan).  Seperti halnya kasus Kan’an (anak Nabi Nuh) yang tetap ingkar sekalipun dibesarkan dan diasuh dalam lingkungan kerasulan, isteri Fir’aun yang tetap wanita shalihah, sekalipun suaminya seorang yang musyrik, istri Nabi Luth tetap durhaka kepada suaminya sekalipun setiap harinya disinari oleh misi kerasulan dan lain-lain yang dicontohkan dalam Alquran. Mungkin itulah yang dapat diistilahkan oleh al-Zarnuji dengan istilah tawakkal.

BAB III
PENUTUP
A.                Kesimpulan
            Az zarnuji adalah salah satu tokoh pendidikan islam dalam karyanya yang terkenal “Ta’lim al-Muta’llim Tariq al-Ta’allum”proses pendidikan islam Az zarnuji dirangkum dalam buku tersebut kedalam 13 pasal yang singkat- singkat. Sebuah analisa yang diajukan Abdul muidh khan dalam bukunya “ The Muslim theories of education during the middle ades” menyimpukan bahwa inti kitab ini mencakup 3 ( tiga) hal yaitu : The difesion of knowledge, the purpose of learning, and the methode of study.
            Menurut Az-Zarnuji, belajar bernilai ibadah dan mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan duniawi dan ukhrawi, karena itu belajar haruslah di niati untuk mencari ridlo Allah, kebahagiaan akhirat, mengembangkan dan melestarikan Islam, mensyukuri nikmat akal dan menghilangkan kebodohan.
            Menuntut ilmu harus bertujuan mengharap rida Allah, mencari kebahagiaan di akhirat, menghilangkan kebodohan baik dari dirinya sendiri maupun dari orang lain, menghidupkan agama, dan melestarikan Islam. 


DAFTAR PUSTAKA

Al Zarnuji.2005.Ta’lim Al Muta’lim Thuruq Al Ta’allum, terjemah. Abu shofia dan Ibnu sanusi, Jakarta: Pustaka Amani
Nata,abuddin.2003.Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Syaibani al,Omar Mohammad Al Taumy.1979.Falsafah Pendidikan Islam,terjemah. Hasan Langgulung, Bandung: Bulan Bintang
 




read more